Raden Rawan
Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang hampir separonya terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari suara yang paling jauh hinngga suara yang paling dekat.
Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.
Namun tidak untuk malam itu. suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah ‘ingkung’ manusia.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga sebelumnya
Seperti yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun mulai turun, tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi ‘tawur agung.” Resi Hijrapa ingin tahu apa yang mendasari keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden Rawan mengatakan dihadapan Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
“Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi santapannya, kare di keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti. Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat mengasihi adikku. Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya, lupa akan aku dan cepat pulih kembali”
“Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!”
Hampir bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur dan polos itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia telah melakukan ‘mban cindhe, mban siladan.’ Mengemban anaknya yang satu dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan siladan, sesetan bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi telah pilih kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja tidak berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa di Kalurahan Kabayakan.
“Tidaaaak! Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku saja, orang tua ‘balilu’ yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak guna”. Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar semua yang dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa untuk memperkecil bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi terang dan kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk berlaku adil kepada semua ciptaan.
herjaka HS
No comments:
Post a Comment