Graffiti Collection
Best Graffiti
New Graffiti

Sunday, September 12, 2010

Perang Tanding Bima dan Arimba

Prabu Arimba dan Bimasena bertempur dengan hebat (karya herjaka HS), gambar diambil dari http://wayangprabu.com/page/9/?archives-list=1



Arimbi mengipasi Bimasena yang lemas kehabisan tenaga (karya Herjaka HS), gambar diambil dari http://wayangprabu.com/page/9/?archives-list=1



Perang Tanding Bima dan Arimba

Berkat pertolongan Arimbi tubuh Bima yang lunglai karena tersedot oleh limu Arimba telah pulih kembali. Ia bangun dan menghampiri Arimba. Kini keduanya siap melanjutkan perang tanding. Sebentar kemudian perang tanding babak kedua terjadi. Lagi-lagi tenaga Bima cepat menyusut, sedangkan tenaga Arimba malah semakin bertambah.

Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan Arimba kakanya, bahwa untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain kecuali mengeluarkan ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada pemegang tahta. Ilmu andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses penyedotan berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering dan semakin cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.

Demikian yang terjadi pada diri Bima, tenaganya cepat menyusut tanpa diketahui penyebabnya. Hanya beberapa saat setelah perang tanding babak ke dua berlangsung, Bima sudah kehabisan tenaga. Ia tak mampu lagi melanjutkan perang tanding. Ia heran dengan apa yang terjadi pada dirinya. Semakin ia bernafsu melumpuhkan lawannya, semakin cepat tenaganya hilang.

Kesedihan menggumpal di hati Bima. Sedhih bukan karena ia takut kalah dan takut mati, melainkan ia meratapi mengapa dirinya tidak mampu berbuat banyak.

Dengan tenaga yang masih tersisa, ia mencoba berteriak memberi khabar kepada Ibu dan saudara-saudaranya, untuk pamit mati. Namun dikarenakan tenaganya sangat lemah, tidak ada teriakan, yang ada adalah rintihan kekalahan yang hampir tak terdengar.

“Ibu Kunthi aku kalah. Aku pamit mati. Anakmu tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kunthi Ibuku aku mohon ampun, Punta kakakku dan adik-adikku maafkan aku.”

Matahari di ujung kulon semakin redup sinarnya. Sebentar lagi ia akan masuk keperaduan. Seakan-akan ia sengaja meninggalkan Bimasena karena tak sampai hati melihat orang terkuat di Pandhawa itu jatuh dalam ketidak berdayaan.

Sementara itu, Arimba yang melihat Bima tidak berdaya, hanya tertawa ringan. Ia tidak melakukan tindakan apapun juga terhadap lawannya yang sudah tidak berdaya. Arimba masih mencoba menghidupi jiwa kesatrianya, seperti yang diteladankan ayahnya Prabu Tremboko. Ia meninggalkan musuhnya dalam ketidak berdayaan, untuk memberi kesempatan memulihkan tenaganya.

Malam merambat pelan, sayup-sayup terdengar kidung pilu ditengah gulitanya hutan. Kunthi Puntadewa, Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa berada dalam kecemasan. Mereka menanti Bima yang tak kunjung datang. Arjuna diutus menerobos lebatnya pepohonan dalam malam yang pekat, untuk menemukan Bima.

Pada waktu yang bersamaan dengan usaha Arjuna mencari Bima. Arimbi mendekati Bima dengan hati-hati. Disadarinya bahwa Bima tidak menyukai dirinya, membenci raut mukanya yang berparas raseksi. Namun Arimbi tahu bahwa Bima tak kuasa mengusirnya atau bahkan meninggalkan dirinya. Seperti ketika dikipasi dengan daun jati, Bima hanya pasrah.

Setelah berada disamping Bima, Arimbi melakukan hal yang sama, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mengipasi wajah Bima. Karena dengan cara demikian tenaga Bima cepat pulih. Walaupun Arimbi heran, mengapa semudah dan secepat itu tenaga Bima pulih, ia tidak menemukan jawabannya.

Tidak seorangpun tahu kecuali Bima, bahwa pada saat Arimbi meniupkan anginnya ke wajah Bima melalui kipas, Dewa Bayu, datang bersamaan semilirnya angin malam, mengusap tubuh Bima sehingga menjadi kuat dan segar.

Bima segera meloncat berdiri dan siap untuk bertempur. Namun hari telah gelap, dan Arimba musuhnya tidak ada di depannya, yang ada hanyalah Arimbi si raseksi yang ia benci. Segeralah Bima meninggalkan tempat itu untuk menghindari Arimbi yang menjijikan.

Bima ingin menemui Kunthi dan saudara-saudaranya, sembari menunggu mentari pagi untuk meneruskan perang tanding melawan Arimba. Disepanjang langkahnya, Bima mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi pada saat berperang tanding melawan Arimba? Ia heran mengapa tenaganya cepat menjadi susut? Namun Bima tidak menemukan jawabannya.

Belum jauh Bima meninggalkan Arimbi yang diam tak bergerak, bertemulah ia dengan Arjuna adiknya, keduanya berlangkulan lega. Untuk kemudian bersama-sama menuju ke tempat Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya berada.

Perang tanding yang dahsyat antara Bimasena dan Prabu Arimba berlangsung dipinggiran hutan Waranawata, disaksikan oleh Arimbi dan para perajurit pengawal dari Pringgandani. Dalam perang tersebut Prabu Arimba dan Bimasena saling mengeluarkan kesaktiannya. Daya kesaktian diantara keduanya sampai menimbulkan debu tanah yang bergulung-gulung, laksana awan mendung. Beberapa kali terjadi suara ledakan keras, menggoncang beberapa ranting pohonan yang berada disekitarnya. Akibatnya merontokan sebagian daun dan ranting pohon di hutan tersebut.

Melihat pertempuran yang kian sengit, Arimbi semakin cemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia kawatirkan jika salah satu diantaranya cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya tak henti-hentinya ia berteriak, memohon agar peperangan dihentikan. Namun teriakan-teriakan Arimbi tak ada yang menghiraukannya. Perang tanding terus berlangsung. Bahkan semakin dahsyat.

Mereka yang menyaksikan terpaksa menjauhi arena perang tanding. Kecuali Arimbi yang tidak mau beranjak dari tempat semula. Ia begitu dekat dengan mereka yang berperang. Ia tidak mempedulikan dirinya sendiri. Ia lebih mencemaskan yang sedang berperang tanding. Baik itu Arimba maupun Bimasena.

Setelah peperangan berjalan beberapa lama, tiba-tiba Bimasena terlempar keluar arena, dibarengi suara tawa yang menggelegar-glegar. Arimbi segera mendekatinya, ditangisinya tubuh Bimasena yang tergeletak lemas di tanah. Ia tahu bahwa tenaga Bima telah tersedot habis oleh ilmu andalan yang dimiliki kakaknya.

Arimbi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap Bima untuk memulihkan tenaganya. Namun ia tidak tega membiarkannya tubuh Bimasena tergeletak sendirian. Dikipasinya Bimasena yang pucat pasi tak sadarkan diri.

Arimba memandangi adiknya, yang sedang menunggui musuhnya dengan setia. Ada rasa iba dihatinya. Adiknya memang benar benar jatuh cinta kepada Bimasena. Disadarinya bahwa, ada kuasa dari atas yang menghendaki benih cinta itu bersemi di hati adiknya, dengan tanpa dapat ditolaknya.

Diakui pula bahwa Bimasena bukan orang sembarangan. Tubuhnya yang tinggi perkasa menjadi ideal jika berpasangan dengan raseksi Arimbi. Demikian pula wajahnya dan kesaktiannya, pantaslah jika adiknya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Namun sayang, bagi Arimba pesona Bimasena tidaklah mampu menutup luka batin karena gugurnya Ramanda Prabu Tremboko dari tangan Pandu.ayah Bimasena. Masih tergambar jelas peristiwa puluhan tahun lalu, ketika Pandudewanata yang kala itu menjadi raja di Hastinapura, mengirim surat tantangan kepada Ramanda Prabu Tremboko. Pada hal yang ia ketahui bahwa, Prabu Pandudewanata adalah sahabat Ramanda Prabu Temboko.

Walaupun Ramanda Prabu Arimba masih meragukan kebenaran surat tantangan tersebut, Prabu Pandudewanata dan para perajurit terbaiknya telah menggempur Pringgandani menyusul Patihnya, Gandamana yang lebih dahulu menyerang Pringgandani.

Perang yang tidak jelas penyebabnya pun akhirnya terjadi. Dan bahkan menjadi perang yang sangat hebat, antara dua negara besar yaitu Hastinapura dan Pringgandani. Dalam catatan sejarah perang besar tersebut dinamakan dengan Perang Pamukswa.

Di dalam perang Pamukswa itulah Rama Prabu Tremboko Gugur di tangan Pandudewanata. Aku sangat terpukul karenanya. Sebagai anak tertua aku harus bertanggungjawab atas kerusakan bangunan negara Pringgandani, serta para perajurit yang tercerai berai dan menjadi korban. Dalam kondisi yang belum siap, sembari melakukan pembenahan di sana-sini, Ibunda Ratu menyarankan agar aku menduduki tahta Pringgandani.

Maka tidak lama dari waktu gugurnya Prabu Tremboko, aku naik tahta disaksikan oleh seluruh kekuatan Pringgandani yang masih tersisa. Dalam acara resmi penobatanku, aku berjanji akan mengadakan perhitungan dengan Pandudewanata. Tepuk tanganpun bergemuruh mendukung tekadku.

Kini aku telah berhadapan dan berperang tanding dengan keturunan Pandu, dan sekarang ia dalam tak berdaya dihadapanku. Jika aku berniat membunuhnya, ibaratnya tinggal membalikan tangan. Tetapi aku tidak mau melakukannya. Karena jika aku lakukan, artinya aku tidak berwatak kesatria. Walaupun wujudku adalah raksasa, di dalam hatiku telah terpatri watak kesatria yang diajarkan dan diteladankan oleh Ramanda Prabu Tremboko. Maka aku akan menunggu kekuatan Bimasena pulih, dan kembali bertanding denganku.

Bimasena anak nomor dua yang lahir dari Ibunda Kunthi tersebut sesungguhnya bukanlah anak Pandudewanata. Ia adalah anak dari Dewa Bayu. Dewa yang berkuasa atas angin. Berkaitan dengan hal tersebut, secara tidak sengaja apa yang dilakukan oleh Arimbi untuk memulihkan tenaga Bimasena dengan cara dikipasi adalah tepat. Karena melalui angin yang menerpa wajah Bima, Dewa Bayu telah membelai putranya dan memulihkan tenaganya.

Maka sebentar kemudian, setelah Arimbi mengipasi Bima, kekuatannya pulih kembali seperti semula, dan bahkan menjadi semakin segar. Bimasena kemudian meloncat untuk menghampiri Prabu Arimba.

Perang hebat

Kemarahan Prabu Arimba belum juga reda. Ingin rasanya ia menghajar Arimbi adiknya, yang telah berkhianat kepadanya, dengan mengabaikan perintahnya. Pada awalnya Arimbi menyanggupi perintah kakanya untuk mengadakan perhitungan dengan pembunuh Prabu Dwaka yang masih saudaranya. Namun setelah melihat pelakunya yang bernama Bimasena, Arimbi jatuh hati. Ia menjadi tak berdaya untuk melaksanakan perintah kakaknya. Oleh karenanya dengan jujur Arimbi mengatakan kepada utusan kakaknya bahwa Arimbi tidak mempunyai daya untuk melukai Bimasena, terlebih membunuhnya.

Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata untuk menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.

Di siang yang terik, Prabu Arimba dengan diiringi beberapa pengawal pilihan meninggalkan negara Pringgandani. Dadanya gemuruh karena kemarahan. Akibatnya matanya memerah dan kedua tangannya bergetar. Para pengawal tahu bahwa raja Arimba sedang dalam keadaan marah besar, dan jika tidak hati-hati dalam melayaninya, sedikit saja membuat kesalahan akan berakibat fatal.

Di hutan Waranawata, Arimbi merasa cemas. Ia tahu bahwa kakaknya akan sangat marah mendapat laporan utusannya, bahwa Arimbi telah jatuh hati kepada musuhnya. Maka dari itu, sebelum Arimba sampai di tengah hutan, tempat Kunthi dan anak-anaknya berada, Arimbi menyonsong kakanya di pinggir hutan. Benarlah apa yang perkirakan Arimbi, dari kejauhan ia melihat kakaknya yang diikuti beberapa pengawalnya menampakkan kemarahannya. Maka dari itu, sebelum Prabu Arimba melampiaskan kemarahannya, Arimbi mendahuluinya memeluk kakinya. Sembari menangis, Arimbi memohon belaskasihan kepada Prabu Arimba.

“Dhuh Kakanda Prabu, pada siapa lagi aku sesambat kalau bukan kepada Kakanda Prabu yang menjadi silih orang tuaku. Jikapun aku harus mendapat hukuman, hukumlah aku karena aku telah mengkianati Sang Raja. Bahkan jikapun aku harus dihukum mati, aku rela menerimanya. Namun sebelumnya aku akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa aku sebagai wanita yang sudah dewasa, sedang jatuh cinta kepada seseorang. Rasa kasmaran itu tiba-tiba menyergapku. Dan aku tak kuasa melepaskannya. Walau aku tahu bahwa ia yang telah membuatku jatuh cinta tersebut adalah musuh kita. Kakanda Prabu salahkah aku?”

Dada Prabu Arimba naik turun, nafasnya tidak beraturan. Kemarahannya yang sudah mencapai puncak dicoba untuk ditahan. Sebetulnya dilubuk hati yang paling dalam, Prabu Arimba sangat menyayangi satu-satunya adik perempuannya. Sepeninggal ayahnya Prabu Tremboko, Prabu Arimba yang kemudian naik tahta menyadari perannya sebagai pengganti orang tuanya. Maka ketika Arimbi mengingatkan peran yang seharusnya diemban, kemarahan Prabu Arimba berangsur-angsur mereda. Air mata Arimbi yang membasahi kaki Prabu Arimba merambat naik dan menyiram dada yang panas gemuruh.

Walaupun dada masih tetap membusung dan kedua tanganya masih berkacak pinggang, tatapan mata Prabu Arimba mulai merunduk. Dipandanginya adiknya yang masih menangis memeluk kakinya. Pelan-pelan rasa iba telah menyusup di hatinya. Ia menyadari, bahwa adiknya telah tumbuh menjadi dewasa, tanpa ditunggui orang tua, dan sekarang sedang jatuh cinta. Jika saja prabu Tremboko masih hidup alangkah senangnya dia. Namun gara-gara Pandu ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Tiba-tiba Prabu Arimba berteriak lantang

“Bangsat Pandudewanata, engkau telah memisahkan aku dan adik-adikku dengan ayahku. Terkutuklah engkau dan keturunanmu. Rama Prabu Tremboko, akan aku habisi hari ini keturunan Pandu, agar engkau berdiam di alam baka dengan damai..

Prabu Arimba lari meninggalkan Arimbi, masuk hutan ingin membinasakan keturunan Pandu. Belum jauh Prabu Arimba meninggalkan Arimbi, Bimasena menghadang di jalan. Prabu Arimba terkejut dengan keberanian orang ini. Apakah ini yang bernama Bimasena. Jika benar ini adalah Bimasena, pantas jika adiknya jatuh cinta kepadanya.

Sebelum terjadi perang tanding diantara keduanya, Arimbi telah menyusul dan mengatakan kepada Arimba bahwa itu adalah Bimasena, dan memohon agar sang Prabu tidak membunuhnya.

Jeritan Arimbi yang melaranganya agar kakaknya tidak berperang kepada Bimasena, justru membakar hati Arimba untuk segera menghabisi Bimasena. Dengan tenaga yang berlebih, Arimba menerjang Bimasena. Sejenak kemudian terjadilah perang tanding yang hebat.

herjaka HS (Artikel ini diambil dari http://wayangprabu.com/page/9/?archives-list=1).



No comments:

Post a Comment