Graffiti Collection
Best Graffiti
New Graffiti

Tuesday, September 14, 2010

Perselingkuhan Samba dan Dewi Hagyanawati

Dewi Hagyanawati versi Solo, diambil dari http://senirupa-sma.blogspot.com/2008/09/wayang-aksara.html



Prabu Boma Narakasura, gambar diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/perselingkuhan-samba-dan-dewi-hagyanawati/



Perselingkuhan Samba dan Dewi Hagyanawati

Usai menghadiri pesta pernikahan Prabu Boma Narakasura dengan Dewi Hagyanawati di istana Trajutrisna yang megah, hati Raden Samba kebat-kebit tak keruan, dirajam kegelisahan. Wayang berwajah flamboyan itu sudah berupaya melupakan wajah Dewi Hagyanawati yang terus menari-nari dalam bentangan layar memorinya. Namun, semakin dilupakan, wajah titisan Dewi Dermi itu makin keranjingan memburu dirinya. Sejak saat itu, Samba seperti berada di “dunia lain” yang terus melakukan pengembaraan batin bersama Dewi Hagyanawati.

Pihak security terpaksa harus aplusan menjaga kamar Samba karena dikhawatirkan akan kabur dari istana. Para penasihat spiritual harus suntuk berdiskusi untuk menemukan solusinya. Bos-bos paranormal dan para praktisi metafisika dari berbagai penjuru yang sangat fasih bicara soal “dunia gaib” pun diundang ke istana. Namun, Raden Samba tetap saja berperilaku aneh dan selalu menyebut-nyebut Hagyanawati.

Kejadian aneh itu tampaknya mengusik Batara Guru untuk turun tangan. Penguasa kahyangan yang mengklaim diri sebagai penjaga ketenteraman dan kedamaian hidup para kawula bumi itu seolah-olah merasa ikut bertanggung jawab terhadap kemelut yang mendera para pengagum cinta, apalagi melibatkan Hagyanawati yang dianggap sebagai titisan Dewi Dermi, kerabat dekat Jonggring Saloka. Sangat beralasan jika “dewa” yang punya hobi berselingkuh itu bersikukuh untuk menyambung tali cinta antara Samba dan Hagyanawati.

“Kasihan dia! Apa pun yang terjadi, Samba harus dipertemukan dengan Hagyanawati di Trajutrisna!” ujar Batara Guru dalam briefing kilat di paseban Jonggring Saloka yang juga dihadiri oleh para petinggi kahyangan. “Untuk itu, Ingsun titahkan pada Batari Wilutama untuk mempertemukan dua makhluk yang tengah kasmaran itu, bagaimanapun caranya. Ada pertanyaan?” lanjutnya sembari melirik wajah Batari Wilutama.

Entah, bagaimana caranya, Batari Wilutama sudah berada di kamar Samba, padahal di luar sana para prajurit mengawal ketat seluruh isi istana. Samba tersentak.

“Ingsun ingin mengajakmu menemui kekasihmu itu!”

“Benarkah? Tapi, bagaimana caranya?”

“Itu soal gampang! Yang penting, kamu sanggup apa tidak memenuhi syarat yang Ingsun ajukan?”

“Apa pun syaratnya, saya pasti sanggup!”

“Ok! Untuk ke Trajutrisna nanti, kamu akan Ingsun bawa lewat terowongan bawah tanah yang gelap supaya lebih aman. Syaratnya, kamu tidak boleh menoleh ke belakang, apa pun yang terjadi! Jika kamu langgar, Ingsun tak mau bertanggung jawab terhadap risiko yang akan kamu hadapi! Apakah kamu sanggup?”

“Kenapa tidak kalau hanya syarat semacam itu?”

“Ok, sekarang pejamkan matamu!”

Samba menuruti keinginan Batari Wilutama. Dalam sekejap, dia sudah berada di sebuah terowongan bawah tanah yang gelap dan sumpek. Setelah menempuh separo perjalanan, tiba-tiba dari arah belakang muncul cahaya terang benderang yang menyilaukan seisi terowongan. Karena penasaran, tanpa sadar, Samba balik kanan. Dia tertegun bukan main ketika menatap sebuah pemandangan yang menakjubkan. Cahaya itu ternyata bersumber dari vagina Dewi Wilutama. Samba makin terpesona saat menyaksikan sosok tubuh perempuan yang molek, mulus, dan sempurna tanpa cacat dalam keadaan telanjang bulat. Seumur-umur, baru ini kali dia menyaksikan panorama surgawi yang mengagumkan semacam itu. Lupalah dia pada persyaratan yang telah disanggupinya.

Alhasil, terowongan itu mendadak kembali gelap gulita. Samba baru sadar kalau dia telah berbuat kesalahan. Dalam keadaan tertatih-tatih, dia terus berjalan menyusuri terowongan yang licin, sumpek, dan berbau. Sesekali, kakinya tersandung batu, tubuhnya terguling-guling.

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya Samba tiba juga di kamar Dewi Hagyanawati yang sejuk dan harum. Samba seperti terbebas dari sekapan neraka. Dewi Hagyanawati tersentak. Berulang-ulang, dia mengucak-ucak bola matanya.

“Benarkah ini Kanda Samba, pemuda yang selalu aku impikan siang dan malam?”

“Tidak salah, Dinda! Aku benar-benar Samba, pemuda yang tidak rela melihatmu hidup berumah tangga dengan Prabu Boma Narakasura yang rakus dan serakah!” jawab Samba sambil memeluk Dewi Hagyanawati dengan kemesraan yang sempurna.

Kejadian yang berlangsung di kamar Dewi Hagyanawati itu akhirnya tercium juga oleh para prajurit Trajutrisna. Mereka segera melaporkan peristiwa itu kepada junjungannya. Prabu Boma Narakasora geram dan gusar. Dia tak akan merasa tenang jika belum berhasil menangkap lelaki pecundang yang dianggap telah menurunkan citra dan martabat negeri itu. Dalam keadaan emosional, Prabu Boma Narakasora segera memerintahkan kedua patihnya, Pancadnyana dan Suparwata, untuk menangkap “hidup atau mati” lelaki yang telah lancang ngrusak pager ayu kebahagiaan hidup seorang raja.

Tanpa mengalami banyak hambatan, Samba berhasil diringkus. Dalam keadaan setengah telanjang, Samba segera digiring dengan tubuh terikat menuju alun-alun di jantung kota. Penduduk Trajutrisna beramai-ramai mengerubunginya. Tanpa komando, mereka melempari Samba yang sudah tak berdaya dengan batu dan telor busuk. Setelah melapor kepada Prabu Boma, Patih Pancadnyana dan Suparwata diperintahkan uyntuk menghabisi Samba.

Mungkin begitulah takdir yang harus dijalani Samba, ksatria Paranggaruda yang juga sering dipanggil dengan sebutan Raden Gunadewa itu. Setelah mereguk kenikmatan surgawi bersama Dewi Hagyanawati, dia harus mengalami nasib tragis. Tubuhnya dicincang dan dijuwing-juwing oleh para prajurit Trajutrisna. Tanpa ampun lagi, Samba tewas mengenaskan setelah berbagai macam senjata menari-nari di atas tubuhnya.

Sementara itu, para prajurit Paranggaruda kalang kabut setelah mengetahui Raden Samba “raib” dari kamarnya. Mereka segera melaporkan kejadian itu kepada Prabu Kresna di Dwarawati. Belum hilang keterkejutan yang bersemayam di dada Kresna, tiba-tiba terdengar kabar Raden Samba telah tewas di tangan para prajurit Trajutrisna. Tanpa berpikir panjang, penguasa Dwarawati yang juga dikenal sebagai futurolog alias “ahli terawangan” itu segera berkelebat menuju negeri Trajutrisna dengan dikawal para petinggi dan satu batalyon prajurit tangguh.

Berkat kesaktian Kembang Wijayakusuma, Samba yang telah tewas dengan tubuh tak keruan bentuk, berhasil dihidupkan kembali oleh sang ayah. Rasa dendam dan sakit hati membikin Prabu Kresna terpaksa membuat perhitungan tersendiri dengan Boma Narakasora yang dianggap telah melanggar hak asasi pewayangan.

Kresna segera menyiapkan panah Cakra Baskara yang kecepatannya melebihi kehebatan pesawat Sukhoi. Setelah berhasil mengejar Boma, Kresna segera membidikkan panah andalannya ke tubuh Prabu Boma. Tak ayal lagi, tubuh besar dan kuat itu pun limbung tak berdaya.

Namun aneh! Begitu jasat itu menyentuh bumi, Prabu Boma kembali segar bugar; tertawa-tawa, mengejek. Kejadian itu terus berlangsung berulang-ulang. Kresna tahu, Boma memiliki kekuatan aji Pancasonabumi yang “antikematian” jika jasatnya menyentuh tanah.

Kresna tak kehilangan akal. Dia segera memasang jaring maut untuk Boma Narakasora. Dengan siasat semacam itu, jasat Boma mustahil menyentuh tanah. “Skenario” pun berjalan mulus. Dengan kepiawaian dan kesaktian yang dimilikinya, Prabu Kresna berhasil membidik tubuh Boma. Jasatnya melesat cepat menuju jaring maut yang telah dipasangnya. Tamatlah riwayat hidup Prabu Boma Narakasora. Obsesi Raden Samba untuk hidup berdampingan dengan Dewi Hagyanawati, pujaan hatinya, pun tercapai.

Namun, kemenangan Prabu Kresna justru menimbulkan masalah di negerinya sendiri. Para pengamat politik dan kalangan wakil rakyat menilai, tindakan semacam itu sangat tidak populer dalam kapasitasnya sebagai negarawan. Pertama, melestarikan dendam yang sangat tidak kondusif dalam mewujudkan perdamaian dunia pewayangan. Kedua, me-legal-kan perselingkuhan yang nyata-nyata telah menghancurkan kebahagiaan hidup berumah tangga. Meski demikian, Kresna tetap cuek. Dia yakin, kritik dan kecaman semacam itu akan hilang dengan sendirinya di tengah silang-sengkarutnya persoalan multidimensi yang tak kunjung usai di negerinya. Apalagi, wakil rakyat juga belum mampu berkelit dan membebaskan diri dari iming-iming dhuwit dan kemewahan. Dus, untuk membungkam kritik dan kecaman semacam itu bukan hal yang sulit bagi Kresna.

Ki sawali Tuhusetya (Artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/perselingkuhan-samba-dan-dewi-hagyanawati/).





No comments:

Post a Comment